
Seseorang terlihat ceria dan baik-baik saja di suatu pagi. Dia mengikuti saran orang banyak agar memulai hari dengan sarapan dan senyuman, agar dia bisa kuat menghadapi segala kenyataan. Namun baru beberapa menit pasca log in di beberapa media sosial, raut mukanya berubah pilu.
Dia kurang suka melihat postingan teman-teman lamanya yang berpose gembira ria dengan teman-teman baru mereka, dia kurang suka menyaksikan mantannya yang mudah move on dan terus hidup lebih baik (sementara dirinya sendiri masih tertatih-tatih), dia marah melihat komen-komen haters di akun medsos idolanya, dia emosi pada pihak-pihak yang sudah ‘menyerangnya’, dia sedih karena postingannya tidak/ kurang mendapat respons,
Dia jengah dengan berita-berita hoax dan tak bermutu, dia cemburu dengan kehidupan teman-teman mayanya yang terlihat menyenangkan, dia ingin berkunjung ke tempat-tempat ngehits seperti yang lain, dia ingin menyebar poto mesra bersama pasangan seperti yang lain, dia ingin memiliki followers banyak seperti yang lain, dia ingin postingannya dibanjiri simbol likes dan komen seperti yang lain, dll.
Seketika itu juga, jejaring sosialnya sendiri sudah menjadi dalang utama dibalik kesedihan dan mood-nya yang memburuk.
~

Medsos dan Fenomena Depresi Penggunanya
Di era iPhone X ini, siapa yang tidak memiliki akun Facebook, Instagram, Twitter, atau aplikasi chatting lainnya? bahkan ada yang memiliki banyak akun kloningan, ‘kan? Hayok!
Well, ceritanya ada para ahli yang melakukan survey (link ada di akhir postingan) tentang penggunaan medsos dan hubungannya dengan depresi pengguna medsos itu. Partisipannya sebanyak 1787 orang, yang berusia sekitar 19-32 tahun. Hasilnya adalah… penggunaan medsos ternyata memiliki pengaruh signifikan terhadap peningkatan depresi seseorang!
Ciri-ciri Depresi Akibat Medsos Sendiri
Tak ada seorang pun yang boleh menyepelekan depresi, apa pun penyebabnya. Keadaan medis ini sangat memengaruhi bagaimana seseorang berpikir, berkata, dan bertindak. Pengaruhnya tentu sangat banyak, salah-satunya dari media sosial.
Eh tapi, kita tak perlu menuntut medsos mana pun, ya. Mereka tak salah. Yang patut diperingatkan adalah diri kita sendiri, khususnya tentang bagaimana menggunakan medsos tersebut. Nah, setidaknya ada beberapa ciri yang patut diwaspadai, kalau-kalau kita sudah terjangkit depresi karena kurang piawai menggunakan medsos sendiri. Jom!
- Self talk Kita Negatif
Self talk atau kata-kata yang sering kita ucapkan (tanpa sadar) terhadap diri kita sendiri memiliki nada yang negatif. Misalnya kita bergumam, “Tuh lihat orang lain mah keren dan populer, lha daku mah masih gini-gini aja!”.
- Rendah Diri/ Minder
Perasaan ini biasa muncul ketika kita mulai membandingkan diri sendiri dengan akun-akun lain. Rasa percaya diri langsung menukik tajam begitu melihat orang lain memamerkan kendaraan barunya, titel pendidikannya, tas branded-nya, lokasi di luar negerinya, kamar hotelnya yang mewah, swafotonya bersama orang-orang beken, dll. Perasaan minder sendiri bisa muncul karena memang real, atau juga karena imajinasi semata.
- Mood atau Suasana Hati Berubah Kelabu
Bagi beberapa orang, apa pun yang menyebabkan bad mood bisa berimbas pada kehidupan nyata. Kita jadi malas bergerak, serasa hampa tanpa arah, tak mudah konsentrasi, dan tentu kualitas beraktivitas pun jadi menurun. Hhh…
- Jadi Mudah Marah-Marah
Orang bilang sih, senggol bacok. Maksudnya, kita jadi sering tersinggung dan ingin meluapkan amarah. Perkara kecil saja bikin darah jadi cepat mendidih.
- Enggak Nafsu/ Rasa Suka Menurun
Pasti ada sesuatu yang tidak beres kalau seorang penyuka es krim tiba-tiba menolak dijajani es krim. Ada yang janggal ketika seorang penyuka band Pink Floyd tiba-tiba tak bisa menikmati lagu Echoes atau High Hopes. Rasanya minat itu pudar begitu saja.
- Ingin Menjadi “Orang Lain”
Rasanya sudah tertancap dalam pikiran, kalau orang yang membagikan postingan keren nan bahagia di medsos bisa menggambarkan bagaimana realita sebenarnya. Pikiran kita juga dicekoki dengan anggapan kalau postingan yang mampu mengundang followers, likers, dan commenters banyak itu sangatlah kece. Kita pun terjebak. Terombang-ambing di antara kehidupan asli dan fake, atau antara ekspektasi dan realita.
Ada yang selfie dengan tersenyum mekar padahal hatinya sedang merana, ada yang mengunjungi spot-spot mewah untuk numpang berswafoto, ada yang rela menyebarkan postingan viral atau sensasional demi menggaet perhatian atau menarik pengikut yang lebih banyak, dsb.
- Menarik Diri Dari Kehidupan Sosial
Kita merasa bukan apa-apa, tak berpengaruh, wujudnya ada tapi dianggap tak ada, maka kita pun menarik diri. Kita menilai tak ada seorang pun yang akan kehilangan, menanyakan kabar, atau bahkan mendeklarasikan kerinduan. Kita jadi sangat ingin ke luar dari lingkar sosial.
Pernahkah mengalami gejala-gejala demikian?
Jika iya, meski dalam denial atau enggak mau mengaku, sebaiknya segara pikirkan bagaimana caranya untuk mengendalikan penggunaan medsos, bukan justeru jadi dikendalikan.
Santai saja. Tidak apa-apa tidak begitu eksis di media sosial. Bukan masalah besar kalau kita tak bisa pamer apa-apa.
Malah, alangkah baiknya untuk tidak larut dalam penggunaan medsos. Kecuali kalau kita menggunakannya untuk kepentingan lain seperti bisnis, menyebarkan postingan blog, mengelola fanspage tertentu, membalas pesan yang masuk, diskusi di grup atau komunitas berfaedah, dll.
Pelan namun pasti, kurangi waktu untuk berlama-lama tenggelam dalam dunia maya. Lebih lagi kalau kita masih muda, labil, produktif, dan energik. Tentu masih banyak kegiatan lain yang patut dipertimbangkan dan diberi perhatian lebih, ketimbang dengan posting, scrolling, dan stalking. Ciri-Ciri Kita Menderita Depresi Karena Ulah Media Sosial Sendiri. #RD
Referensi studi/ jurnal:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4853817/
waduh pengaruhnya jelek banget ya, jd kkita hrs bisa mengelola hati ya, biar gak kena pengaruh negatif
Wah betul, Mbak Hastira. Selain mengelola penggunaan medsos juga harus pandai mengelola hati. Hehe… Terima kasih, ya. ^_^