Habis FOMO, terbitlah JOMO

Image via: theodysseyonline.com
…daku sih bikin sosmed cuma buat formalitas, biar enggak dianggap kudet. Enggak gitu aktif, kok. Buka Instagram juga paling buat ngepoin info jadwal pertandingan bola. Habis itu buka WA, atau enggak, main mobile legend…
Demikian kesimpulan obrolanku dengan seseorang. Dia tidak tahu apa yang sedang panas dibicarakan, kecuali masalah bola. Dia tidak menghiraukan video apa yang sedang viral di Youtube, MV atau video klip apa yang baru rilis, siapa itu Fredrich Yunadi dan Abu Janda serta aneka pernyataan mereka, topik apa saja yang paling rame dibahas di Twitter, meme mana yang sedang relatable, dsb.
Ah, betapa tenang hidupnya… tak terbawa hectic di tengah dunia yang terus berisik.
Mungkin dia tidak sadar. Tapi setidaknya dia sedang menikmati Joy of Missing Out (JOMO). Dia merasa… ketinggalan itu enggak jadi masalah, kok. Hepi-hepi aja, tuh.
Baca Juga: 9 Ciri Pengguna MedSos yang Terkena Gejala Sindrom FoMo
~

Image via: tamindir.com
Oh, bukan. JOMO alias Joy of Missing Out bukanlah hal baru.
Sebagaimana yang kita tahu dan rasakan, dunia ini sepertinya mulai ‘hiperaktif’, khususnya di ranah maya. Kita memiliki miliaran kesempatan untuk bikin akun medsos, update trending topic, update tempat nongkrong, menjadi komentator, bergabung dengan skuad nyinyir, berjualan, berkarya, mempromosikan ini-itu, berkenalan dengan banyak orang, menghadiri beragam acara, belajar aneka hal, mengorek-ngorek informasi seseorang, dsb.
Kita tergoda untuk aktif dalam semua aktivitas itu.
Banyak dari kita yang merasa khawatir dan minder ketika ketinggalan. Bahkan sampai muncul fenomena FOMO, atau singkatnya ketakutan karena kudet. Padahal ketinggalan itu tidak selamanya buruk.

Image via: produzindo.net
JOMO bisa ‘menyelamatkan waktu’ untuk sekadar nyekrol medsos, klik aneka link, meninggalkan jejak like, atau berkomentar semata. Ketika gawai tidak memiliki kekuatan penuh untuk mengontrol diri, kita bisa memanfaatkan waktu luang yang ada untuk hal yang lebih berfaedah. Termasuk juga bersantai menyeruput kopi, membaca cerpen, menulis diary, bermain dengan kucing, atau sekadar curhat dengan orang tua. Chill out.

Image via: emetrics.org
JOMO bikin kita lebih sadar dan peka. Selama ini untuk menutupi rasa sepi, frustrasi, sedih, dan bosan, mayoritas dari kita akan lari ke gawai atau smartphone. Sementara itu, judul-judul berita mengerikan seperti pembunuhan, bencana, pelecehan, dll, sudah mulai terkesan biasa.
Emosi ini mulai hambar.
Beda rasanya ketika kita menyimpan ponsel dulu, lalu mengamati langsung. Emosi seakan tertampar ketika mengunjungi orang sakit, takziah pada mereka yang berduka, ikut gotong royong membersihkan sampah pasca banjir, ngobrol langsung dengan korban kejahatan, dsb. Semua itu seperti membangkitkan naluri kemanusiaan yang hampir hilang.

Image via: shutterstock.com
JOMO membuat kita lebih rileks dan tak ikut grasa-grusu. Pasalnya, selama ini kita seperti ikut terburu-buru dan merasa gusar. Jiwa kita ikut kalut dengan beragam pembahasan yang tersebar. Tak tenang.
Sepertinya kita perlu belajar untuk ‘ada di sini dan menikmati masa kini’. Kita perlu ‘kembali pada kebiasaan lama yang simpel dan indah, namun sekarang sering tertinggal’. Misalnya menyaksikan matahari terbit, jalan kaki di sekitar tempat tinggal, selonjoran di atas rumput atau ilalang, ngemil bareng keluarga, dsb. Kalem. Woles. Santai kayak di pantai.

Image via: shutterstock.com
Untuk merasakan sensasi JOMO, sesekali kita perlu disconnect dengan segala perangkat elektronik dan internet. Habis FOMO, terbitlah JOMO. #RD