Pertanyaan “Apa Kabar” Tak Mesti Dijawab “Baik-baik Saja”, Jujur juga Tak Apa

Image via: wallhere
“Apa kabar?”
“Gimana kabarnya?”
Ada seorang teman yang rutin melontarkan pertanyaan di atas. Padahal kami cukup sering chattingan. Misal Jumat dia chat duluan dengan menanyakan kabar, maka Sabtunya dia akan kembali memulai obrolan dengan pertanyaan yang sama.
Saya hampir bosan menjawab “baik-baik saja” di kolom chat. Basa-basi saja. Namun atas nama norma sopan-santun, saya ladeni saja pertanyaannya. Tak lupa, saya pun bertanya balik. Tak disangka, jawabannya ternyata tidak sama dengan saya. Dia membalas,
“Alhamdulillaah… raga sih sehat-sehat saja.”
Kalimat sederhana itu membawa pesan yang cukup rumit dari perkiraan. Katakanlah, dia memang sehat secara raga. Namun dia juga sedang dilanda masalah.
Jujur banget, ya?
Biasanya dia menjadi salah-satu tempat saya curhat. Namun dengan jawabannya yang seperti itu, jadinya dia yang curhat. Mungkin dia memang sengaja memberikan respons yang berbeda, agar saya peka dan menggali apa yang sedang dirasakan atau dipikirkannya.
Pernah juga dia tak bertanya “apa kabar”, melainkan memberi doa ‘semoga kamu dalam keadaan baik, lahir mau pun batin’.
~

Image via: imgur.com
Sepertinya kita sudah “terdidik” untuk memoles perasaan yang sebenarnya. Aneka pertanyaan “apa kabar” langsung saja dijawab “baik-baik saja” – walau sebenarnya tidak sedang baik-baik saja.
Hati sedang sedih, tetapi foto selfie yang diunggah di medsos mah tampak tersenyum. Badan sedang sakit-sakitan, tapi emoji mah ngakak terus. Pikiran sedang negatif, tetapi postingan yang disebar di WA story mah positif dan memotivasi. Atau perasaan sedang kalut, tetapi wajah dan bibir mah tersenyum lebar, seakan hidup itu polos tanpa problem apa pun.
Mungkin ada yang tidak ingin “dikasihani”, ada yang tak peduli dengan keadaan sebenarnya, ada juga yang memang tertuntut untuk tampil strong.
Bebas sih untuk menyembunyikan perasaanmu yang sebenarnya dari orang lain, tapi bebas juga untuk mengekspresikan perasaanmu yang sebenarnya pada orang lain.
Saya yang awalnya ingin memutar bola mata pada para penyebar status galau, jadi berubah pandangan. Bagi saya, mereka itu tukang ngeluh yang cari perhatian. Keluhan soal hujan, kemacetan, makanan yang keasinan, teman yang datang terlambat, pasangan yang enggak nurut, harga bakso yang kemahalan, antrian yang kepanjangan, dsb.
Tetapi setelah dipertimbangkan, hey mereka berhak untuk menunjukkan perasaannya. Silakan saja. Bahkan mungkin saja aksi mereka itu lebih bagus, ketimbang dipendam sendiri. Sampai membusuk. Sampai meledak.

Image via: lunamatic.net
Lagipula, kenapa sih kita seakan terdorong untuk tampil baik-baik saja?
Kalau dibikinkan topeng, entah sudah ada berapa buah di wajah manusia. Topeng-topeng itu didesain khusus untuk menutupi wajah sebenarnya. Wajah yang sebenarnya sedang sakit hati, sedang kecewa, sedang stress, sedang nyeri, dll. Kenapa tidak sudi mengakui semua keadaan negatif itu, padahal ‘kan manusiawi?
Tak Ada Salahnya Jujur dengan Keadaan
Respons negatif terhadap pertanyaan “apa kabar?” bisa menjadi bentuk kejujuran dari diri sendiri. Itu berarti kamu sudah jengah mesti berakting “baik-baik saja”, padahal jelas-jelas ada yang tidak beres. Tak apa-apa untuk terbuka saja, khususnya kalau yang bertanya itu adalah sosok yang kamu percaya.
Kalau kata psychotherapist bernama Barton Goldsmith itu ‘ketika kamu buka mulut, kamu itu sebenarnya sedang membuka hati juga. Dan ketika tahu ada orang yang benar-benar menyimak perasaanmu serta memahamimu, itu rasanya sangat menenangkan bagi jiwamu’.
Tak apa-apa ketika seseorang yang kamu percayai bertanya ‘apa kabar?’, terus kamu menjawab ‘buruk’. Momen itu justru menjadi kesempatan untuk mengutarakan hal sebenarnya. Tetapi kalau kamu enggan nyaman untuk jujur, silakan poles dengan jawaban seklasik “baik-baik saja”.
Kalau pun kesulitan membuka diri pada orang lain, masih banyak media untuk berekspresi. Kamu bisa menuangkannya pada tulisan, nyanyian, status media sosial, caption, blog, dll. Yang penting enggak numpuk. Pertanyaan “Apa Kabar” Tak Mesti Dijawab “Baik-baik Saja”, Jujur juga Tak Apa. #RD
Related
You may also like
-
Cerita Pengalaman Refund Hotel di Traveloka Lewat Android, Sempat Was-was!Booking hotel itu, kalau bisa sih, di menit-menit akhir. Biar dapet harga miring. Tetapi risikonya tinggi kalau wiken. Kamar berpotensi penuh. Berhubung hendak tinggal beberapa hari
-
Persembahan Dari Fans Indonesia; #JKTWantsTheCorrs Mash UpPersembahan Dari Fans Indonesia; #JKTWantsTheCorrs Mash Up Apa kamu ngefans sama musisi atau idola tertentu? Sebagai fans, kita memang memiliki cara masing-masing untuk menunjukan apresiasi pada
-
Belajar Dari Tiang Listrik; Kuat dan Tegar SekaligusDaku dan seorang teman perempuan pergi ke tempat fitness. Kami masih mengenakan sandal, sebab tadinya hanya berniat untuk jalan-jalan pagi saja. Sampai kemudian ada seorang lelaki
-
Materi Bahasa Inggris; Teaching English for Adult LearnersTeaching English for Adult Learners Oemji! Rerata materi-materi Bahasa Inggris pas kuliah raib. Sebagian sudah aman di blog ini, sebagian lagi hilang karena pernah ganti dari komputer
-
Sebuah BalasanSebuah Balasan “Waktu adalah ladang. Niat, ucap dan perbuatan adalah tanaman-tanaman. Terawat baik, berbuah kebajikan. Terawat buruk, berbuah kebusukan.” Makna dari kata-kata tersebut mungkin lazim kita
-
“Rendang Rasa Garam”“Rendang Rasa Garam” “Wah, ternyata kita semua tukang makan!” seru Teh Entin, menyadari dirinya-daku-Teh Yulia terus ngemil di perjalanan. Ada stik balado, buah salak dan kue
-
Menguping Obrolan 3 Siswi SMA Dalam Angkutan KotaPada Sabtu (03 Maret 2018) sore, saya merumuskan caption pribadi untuk diri sendiri. Kebiasaan itu dilakukan kalau diri ini sedang rileks dan blank, dalam arti tidak