Review Lagu “Manahemana”: Bahasa Tauhid Dalam Lagu Pidi Baiq
Apa yang terlintas ketika kita mendengarkan sebuah lagu atau musik?
Jawabannya bisa kenangan, seseorang, tempat, penyanyinya, chord gitarnya, atau apapun itu yang berkaitan dengan lagu tersebut. Kita juga langsung teringat akan cara pembawaanya. Normalnya sih, pasti dengan alami otak akan menerjemahkan apa yang kita dengar. Semua itu menjadi sugesti tersendiri.
Sama seperti ketika saya mendengar sebuah lagu dari The Panasdalam. Judulnya Manahemana, ciptaannya “Ayah” Pidi Baiq. Err… Manahemana. Judulnya saja entah apa artinya?! Yang saya tahu, Pidi Baiq adalah figur yang sangat pintar mengotak-atik kata. Awalnya saya pikir karyanya ini paling seputar lagu cinta. Ya, Pidi Baiq juga menjadi sosok yang terkenal dengan Quotes asmara serta gombalannya.
Sekali didengar, ternyata betul, lagu ini adalah lagu gombal. Gombalannya amat sangat keren. Bukan hanya gombalan biasa, melainkan penuh dengan pengakuan, cinta, dan pujian. Eh, pujian ???
Saya coba putar lagi lagu tersebut. Lagi dan lagi. Terus saja. Saya kemudian menyadari bahwa, iya… ini memang asli lagu cinta, tapi saya pikir bahasanya itu tidak ditujukan untuk manusia, melainkan untuk Tuhan. Kenapa begitu? Sebelum melanjutkan, mari kita simak lirik lagunya terlebih dahulu…
Lirik Lagu Manahemana – The Panas Dalam
Ini apakah namanya
baru ku merasa dilanda bermilyar rasa meluas angkasa
umpama hujan airi kemarau yang lama
maka hidup baru kini tenang cuaca
sehebat apapun… dilanda begini
musnahlah semua… mampuslah diriku
“hmm malam-malam aku datang menemuimu…
kepala batu mencair membasahi suratmu
menguap menjadi gerimis di pagi hariku”
Aku akui adamu kuasai aku
ada pada segala arah… ku seru namamu
apakah sebab dirimu baik selalu
menempatkan aku pada rindu melulu
inilah debumu… kembali padamu
sambutlah diriku hanya kau tentramku
apalah diriku, apalah hidupku
apalah semua, apalah tanpamu
inilah keningku ku rebah bagimu
benamkan sombongku, benamkan angkuhku
tanpa diriku… engkau tetap engkau
diriku tanpamu mampuslah diriku
“saat aku rindu kepadamu, aku pejamkan mataku…
menemuimu yang selalu menungguku, jauh di dalam diriku”
~
Seperti itulah bahasa pintar dalam lirik lagu Manahemana. Jika kita baca liriknya per bait, hampir setiap kalimat dalam lirik lagu di atas mengandung unsur-unsur bahasa yang sebenarnya mengusung ke arah keTauhidan. Eh, tauhid itu sendiri apa, sih?
Arti kata tauhid sendiri, secara bahasa yaitu konsep aqidah yang menyatakan ke-esa-an Allah SWT. Hanya saja pencipta lagu ini menyiratkan makna dibalik kata-kata tersebut. Berikut lirik serta makna sederhananya ;
“malam-malam aku datang menemuimu”
(sebagai bentuk perjumpaan seorang hamba dengan Allah adalah dalam pelaksanaan shalat. Kalimat ini seperti menceritakan kronologi Sholat malam/Tahajud.
“kepala batu mencair membasahi suratmu”
(menangis ketika membaca Al-Qur’an)
“ada pada segala arah”
(apa dan siapa tak ada, kecuali Dzat Allah yang maha mengetahui dan ada pada segala arah)
“inilah debumu kembali padamu”
(manusia hidup diciptakan oleh Allah dari segumpal tanah. jasadnya akan melebur kembali dengan tanah, dan Ruh manusia akan kembali pada Allah. Waullahu alam…
“apalah diriku, apalah hidupku, apalah semua, apalah tanpamu”
(kita dan semua yang kita punya, harta , dunia dan segala isinya akan percuma tanpa taat kepada Allah)
“inilah keningku, ku rebah bagimu… benamkan sombongku, benamkan angkuhku”
(bersimpuh dalam sujud, mengakui bahwa kita bukanlah apa-apa dihadapan Allah SWT)
“tanpa diriku engkau tetap engkau, diriku tanpamu mampuslah diriku”
(Allah tidak membutuhkan apa-apa dari kita, sesungguhnya kita lah yang sangat bergantung pada Allah yang maha menciptakan segala sesuatu)
“menemuimu yang selalu menungguku jauh di dalam diriku”
(menemui dalam sholat, “jauh di dalam diriku” kalimat ini bukan menunjukan keberadaan, tapi lebih ke : yang maha mengetahui dan menguasai atas segala hal yang ada pada diri kita lebih jauh dari diri kita sendiri)
~
Dengan segenap keterbatasan, saya tidak menyertakan Ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadits sebagai penguat tulisan ini. Karena saya pikir, perlu seseorang yang lebih ahli untuk menerjemahkan bahasa-bahasa yang merujuk ke arah makrifat ini serta menyertakan Ayat Al-Qur’an dan Hadits yang sesuai pada tempatnya.
Persepsi boleh berbeda, ya. Bagaimanapun, lirik lagu termasuk karya seni yang bisa dipandang dari segala isi. Iya, ‘kan?
Kalaupun Bro-Sist menemukan kekurangan dalam tulisan ini, silakan menambahkan atau mengoreksinya. Saya sebagai penulis memohon maaf. Sekian dan Terimakasih. [*]
Penulis: Risal Boston
Editor: deeann